NUSANTARAEXPRESS, JAKARTA - Bidang Sosial dan Pemberdayaan Umat, Badan Pengelola Masjid Istialal (BPMI) menyelenggarakan Seminar Internasional melaui zoom meeting (11/12/2020) dengan tema "Perempuan sebagai Agen Pemberdayaan di Era New Normal". Women’s Mosque of Istiqlal merupakan visi besar Istiqlal untuk mengangkat isu-isu terkait relasi antara perempuan, masjid dan kebudayaan umat Islam dalam skala nasional dan internasional.
Seminar Internasional yang dipandu langsung oleh pengurus struktural BPMI, Rosita Tandos, MA, MComDev, Ph.D, ini menghadirkan keynote speech Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, SE, M.Si dan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Sedangkan narasumbernya adalah Tenaga Ahli Utama Presiden, Prof. Dr. Ruhaini Dzuhayatin; Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Titi Eko Rahayu, SE, M.AP; Directur of GPS, Monash Univ Melbourne, Australia, Prof Jacqui True; dan Prof. Etin Anwar dari Hobart College & Reducate, Amerika. Turut hadir dalam acara ini Asdep Keseteraan Gender Bidang Ekonomi, Muhammad Ihsan, S.Ag, MA; Kepala Bidang Sosial dan Pemberdayaan Umat, Laksamana Pertama TNI (Purn) Dr. Asep Saepudin; dan pejabat struktural di lingkungan BPMI.
Menteri PPPA dalam paparannya menyampaikan pesan tentang pentingnya peran perempuan Indonesia dalam ketahanan kesehatan dan ekonomi di masa pandemi. ”Perempuan memiliki resilensi dan daya juang untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan orang-orang di sekitarnya,” demikian ungkapnya.
[nextpage title="Next"]
Lebih lanjut, beliau mengungkapkan data bahwa sebagian pelaku usaha mikro dan perintis UMKM di masa pandemi dan tingginya partisipasi para pekerja perempuan dan sebagai kunci peningkatan penghasilan serta sebagai pendorong kemajuan bangsa. “Untuk itu pemerintah menginisiasi pusat pembelajaran keluarga di seluruh Indonesia. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan masih menjadi masalah serius di Indonesia,” imbuh Menteri I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Di era digital, kekerasan melalui internet banyak terjadi, yang oleh karena itu perempuan perlu melek digital. “BPMI dengan jaringan nasional dan internasional diharap untuk ikut berperan dalam mengangkat isu anak dan perempuan.” ujar Menteri PPPA berharap.
Imam Besar Masjid Istiqlal memberikan perhatian serius terhadap meningkatnya kasus perceraian di keluarga Indonesia. Kasus ini banyak menimpa rumah tangga yang umurnya di bawah lima tahun dan sejak beberapa tahun terakhir grafiknya selalu menanjak. “Yang menjadi korban dari perceraian adalah perempuan dan anak. Ketika terjadi perceraian lahir orang miskin baru karena perempuan umumnya tidak mempunyai kepemilikan aset seperti sertfikat rumah dan sebagainya,” ungkap Prof. Nasaruddin Umar.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa anak dari korban perceraian, broken home, juga punya potensi yang tinggi dalam penyalahgunaan narkoba, menjadi anak jalanan dan tindakan kriminal. Itu semua terjadi karena egoisme para orang-tua. “Oleh karena itu, New Istiqlal berfungsi untuk pemberdayaan umat dan trend setter perubahan masjid di Indonesia” tegas Imam Besar Istiqlal itu.
Pada sesi berikutnya, pembicara lainnya, Prof. Dr. Ruhaini Dzuhayatin mengungkapkan bahwa perempuan harus menjadi center of excellent dari proses inseminasi pengembangan narasi-narasi Islam yang moderat progresif dan ramah terhadap perempuan. Permasalahan perempuan dan dinamikanya pasang surut sebagai realitas soial yang dinamis. Istiqlal dituntut untuk mengadakan penguatan wacana perempuan sebagai agen perubahan.
Lebih lanjut beliau meminta agar status ulama perempuan mendapat pengakuan dalam social qualifications dan diakui legitimacy karena proses yang ditempuh perempuan dan laki-laki relatif sama.
[nextpage title="Next"]
Titi Eko Rahayu memaparkan tentang strategi Kementerian PPPA dalam pemberdayaan masa Covid-19 dengan pendekatan mainsteaming dan sinergi potensi. Salah satunya adalah program Desa Ramah Keluarga yang bekerjasama dengan Kementerian Desa. Menurutnya hal ini adalah upaya mewujudkan miniatur SDGs di tingkat desa. Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) atau pembangunan berkelanjutan adalah agenda 2030 yang merupakan kesepakatan pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan.
Adapun Prof. Jacqui True menyampaikan beberapa hasil data riset terkait perempuan dan kekerasan. Menurutnya peluang untuk perempuan direkrut menjadi anggota kelompok pemikiran ekstrem sama besarnya dengan kesempatan menjadi agen perubahan. Jacqui True menyayangkan banyaknya perempuan Indonesia yang menganggap isu perubahan perempuan sebagai agen deradikalisme sebagai sesuatu yang tidak penting. Menurutnya, partisipasi perempuan dalam pengarusutamaan gender menjadi penting agar tidak lagi banyak penafsiran yang bias gender.
Pembicara terakhir, Prof. Etin Anwar mengangkat masalah Womens Mosque in America terutam Masjid Indonesia di New York dalam tiga masalah. Deskriminasi di tengah covid, tantangan muslimah menghadapi peraturan masjid dan bagaimana lembaga perempuan menangani ketidaksetaraan gender dan memperjuangkan keadilan. Menurutnya, deskriminasi wanita muslim bukan hanya oleh non muslim tetapi juga dilakukan oleh laki-laki muslim.
Salah satu kasus adalah pelarangan wanita untuk mendatangi masjid di Dallas selama masa Covid 19 dengan alasan yang tidak bisa dilegitimasi. Peraturan ini menunjukkan steorotype bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Selain itu Etin Anwar menyorot masalah pelibatan dan partisipasi perempuan pada kegiatan di masjid yang masih sangat terbatas (BU/ML)
Seminar Internasional yang dipandu langsung oleh pengurus struktural BPMI, Rosita Tandos, MA, MComDev, Ph.D, ini menghadirkan keynote speech Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, SE, M.Si dan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Sedangkan narasumbernya adalah Tenaga Ahli Utama Presiden, Prof. Dr. Ruhaini Dzuhayatin; Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Titi Eko Rahayu, SE, M.AP; Directur of GPS, Monash Univ Melbourne, Australia, Prof Jacqui True; dan Prof. Etin Anwar dari Hobart College & Reducate, Amerika. Turut hadir dalam acara ini Asdep Keseteraan Gender Bidang Ekonomi, Muhammad Ihsan, S.Ag, MA; Kepala Bidang Sosial dan Pemberdayaan Umat, Laksamana Pertama TNI (Purn) Dr. Asep Saepudin; dan pejabat struktural di lingkungan BPMI.
Menteri PPPA dalam paparannya menyampaikan pesan tentang pentingnya peran perempuan Indonesia dalam ketahanan kesehatan dan ekonomi di masa pandemi. ”Perempuan memiliki resilensi dan daya juang untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan orang-orang di sekitarnya,” demikian ungkapnya.
[nextpage title="Next"]
Lebih lanjut, beliau mengungkapkan data bahwa sebagian pelaku usaha mikro dan perintis UMKM di masa pandemi dan tingginya partisipasi para pekerja perempuan dan sebagai kunci peningkatan penghasilan serta sebagai pendorong kemajuan bangsa. “Untuk itu pemerintah menginisiasi pusat pembelajaran keluarga di seluruh Indonesia. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan masih menjadi masalah serius di Indonesia,” imbuh Menteri I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Di era digital, kekerasan melalui internet banyak terjadi, yang oleh karena itu perempuan perlu melek digital. “BPMI dengan jaringan nasional dan internasional diharap untuk ikut berperan dalam mengangkat isu anak dan perempuan.” ujar Menteri PPPA berharap.
Imam Besar Masjid Istiqlal memberikan perhatian serius terhadap meningkatnya kasus perceraian di keluarga Indonesia. Kasus ini banyak menimpa rumah tangga yang umurnya di bawah lima tahun dan sejak beberapa tahun terakhir grafiknya selalu menanjak. “Yang menjadi korban dari perceraian adalah perempuan dan anak. Ketika terjadi perceraian lahir orang miskin baru karena perempuan umumnya tidak mempunyai kepemilikan aset seperti sertfikat rumah dan sebagainya,” ungkap Prof. Nasaruddin Umar.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa anak dari korban perceraian, broken home, juga punya potensi yang tinggi dalam penyalahgunaan narkoba, menjadi anak jalanan dan tindakan kriminal. Itu semua terjadi karena egoisme para orang-tua. “Oleh karena itu, New Istiqlal berfungsi untuk pemberdayaan umat dan trend setter perubahan masjid di Indonesia” tegas Imam Besar Istiqlal itu.
Pada sesi berikutnya, pembicara lainnya, Prof. Dr. Ruhaini Dzuhayatin mengungkapkan bahwa perempuan harus menjadi center of excellent dari proses inseminasi pengembangan narasi-narasi Islam yang moderat progresif dan ramah terhadap perempuan. Permasalahan perempuan dan dinamikanya pasang surut sebagai realitas soial yang dinamis. Istiqlal dituntut untuk mengadakan penguatan wacana perempuan sebagai agen perubahan.
“Permasalahan terkait perempuan muncul dari lima akar masalah, yaitu: theological legitimacy, cultural validity, social qualifications of women, political engagement dan personal otonomy,” jelas Ruhaini.
Lebih lanjut beliau meminta agar status ulama perempuan mendapat pengakuan dalam social qualifications dan diakui legitimacy karena proses yang ditempuh perempuan dan laki-laki relatif sama.
[nextpage title="Next"]
Titi Eko Rahayu memaparkan tentang strategi Kementerian PPPA dalam pemberdayaan masa Covid-19 dengan pendekatan mainsteaming dan sinergi potensi. Salah satunya adalah program Desa Ramah Keluarga yang bekerjasama dengan Kementerian Desa. Menurutnya hal ini adalah upaya mewujudkan miniatur SDGs di tingkat desa. Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) atau pembangunan berkelanjutan adalah agenda 2030 yang merupakan kesepakatan pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan.
Adapun Prof. Jacqui True menyampaikan beberapa hasil data riset terkait perempuan dan kekerasan. Menurutnya peluang untuk perempuan direkrut menjadi anggota kelompok pemikiran ekstrem sama besarnya dengan kesempatan menjadi agen perubahan. Jacqui True menyayangkan banyaknya perempuan Indonesia yang menganggap isu perubahan perempuan sebagai agen deradikalisme sebagai sesuatu yang tidak penting. Menurutnya, partisipasi perempuan dalam pengarusutamaan gender menjadi penting agar tidak lagi banyak penafsiran yang bias gender.
Pembicara terakhir, Prof. Etin Anwar mengangkat masalah Womens Mosque in America terutam Masjid Indonesia di New York dalam tiga masalah. Deskriminasi di tengah covid, tantangan muslimah menghadapi peraturan masjid dan bagaimana lembaga perempuan menangani ketidaksetaraan gender dan memperjuangkan keadilan. Menurutnya, deskriminasi wanita muslim bukan hanya oleh non muslim tetapi juga dilakukan oleh laki-laki muslim.
Salah satu kasus adalah pelarangan wanita untuk mendatangi masjid di Dallas selama masa Covid 19 dengan alasan yang tidak bisa dilegitimasi. Peraturan ini menunjukkan steorotype bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Selain itu Etin Anwar menyorot masalah pelibatan dan partisipasi perempuan pada kegiatan di masjid yang masih sangat terbatas (BU/ML)